Minggu, 19 April 2020

Itaewon Class : Kerja Keras Bagai Park Sae Ro Yi

Long time no see!

Thanks to Itaewon Class yang sukses bikin aku nulis blog lagi. Sungguhnya, series K-Drama ini sangat menginspirasi. Ya kan?!

Ceritanya sih simple. Cuma karena Park Sae Ro Yi tidak mau minta maaf dan berlutut di hadapan Ketua Jang. Bertahun-tahun di buat repot dan sedihlah hidup suamiku ini, Park Seo Joon oppa :p. 





Tapi harus aku akui, hidup dan sikap Park Sae Ro Yi patut diacungi jempol. Terbesit, apakah ada orang yang seperti ini di dunia nyata? Jujur, tangguh, niat, rajin, ya ampunnnn... Inti dari segala inti, seorang yang tau mau kemana, apa tujuan hidupnya, dan siap melakukan apapun untuk mewujudkannya. 

Ambisius. Perfeksionis. Down to earth. Rasanya ketiga ini mustahil berkumpul dalam satu orang (setidaknya menurut ku ya). Karena biasanya, ambisius itu hanya bagian dari proses. Semacam niat dan kerja keras untuk mewujudkannya. Tapi apakah ini akan kuat bertahan hingga ambisinya terpenuhi? Belum tentu. Karena kalau tidak diikuti dengan konsistensi dan persistency, semuanya jadi manusiawi, yang ada kemudian kita negosiasi dan kompromi dengan ambisi diri sendiri. 

Sedangkan perfeksionis, ini sulit. Inginnya hasil yang sempurna, tapi terlalu banyak 'tapi' dalam proses pelaksanannya. At the end, kompromi dengan hasil cukup sampai di benchmark 'ya, okelah!'. Puas?! Belum tentu. Tapi apa daya... daripada jadi one man show ya kan?!

Dan di sini aku nengartikan down to earth sebagai pribadi yang mau dan bisa untuk memajukan diri sendiri dan juga orang lain. Percayalah ini lebih sulit. Ini tentu diaplikasikan saat bekerja dalam team ya. Tidak mudah untuk bertemu dengan mereka yang mau berlari di track yang sama untuk mimpi yang sama. Cara kerja yang berbeda somehow bukan masalah. Karena yang lebih parah adalah semua bisa saja berubah. Ini pun kita bukan bicara soal kita, tapi juga orang lain. 

Kalau dirunut, jadinya 3 sikap ini terlihat seperti pilihan. Tapi namanya drama sih, tentu berbeda dengan kenyataan. 

Tapi dari nonton Itaewon Class ini, aku bersyukur karena 'memang bertahan hidup itu tidak mudah'. Jadi 'drama' lain dalam hidup setidaknya bikinlah lebih mudah. Suka ya bilang suka. Ga bagus ya bilang ga bagus. Bagian dari prinsip aja sih, karena tidak ada bohong untuk kebaikan. Gengges lho, kalo ada yang bilang, 'bagus sih, tapi... (revisi)'. Semua hanya permainan kata dan pemilihan diksi. Apa itu 'menunggu waktu yang tepat'?! Tepat menurut siapa pula, hehe. 

Statement ini, 'toleransi karena semua orang tidak bisa diperlakukan sama'... Jujur, aku sendiri 50:50 menanggapinya. Menurutku sejauh ada kata 'saling', hubungan sosial tidaklah rumit. Jadi jangan merasa orang yang jujur - tanpa filter tidak akan cocok sama yang baperan. As long as, saling mengerti dengan komunikasi yang baik dan benar, semua akan baik-baik saja. 

Satu hal lainnya yang aku percaya (dan seperti di-amin-i dari drama ini), 'kalau mau sombong itu boleh. Tapi tau apa yang disombongin dan tau menempatkan kapan harus sombong itu lebih penting!'
Entah sombong karena merasa pilihannya hidupnya benar (dan bisa dibuktikan aka ga omdo - omong doang) atau sombong karena memang punya karya atau ada hasil yang bisa dipamerin, please do. Jauh di dalam lubuk hati orang lain, mereka pasti mengakui. Pertanyaannya, apakah orang sombong ini boleh punya salah?! Ya bolehlaaah... jadi orang sombong itu ga harus sempurna. Cuma masalahnya, apakah yang sombong ini mau mengakui kesalahannya? Sikap ini kok yang membuat orang sombong jadi manusia. Butuh orang lain dan belajar dari pengalaman juga.  Sayangnya jaman now, banyak orang sombong tapi kosong, atau juga sombong untuk mendapat apresiasi. Ini baru ngenes. Jadi tetap perlu berhati-hati ya kalau mau sombong!

Overall, drama ini buat aku, superb!
Sepenting itu konsistensi saat punya ambisi. Universe mungkin ga selalu support, tapi.. kalau value diri sendiri jadi hilang, rasanya kurang wise dan worth it untuk dipertahankan. Again, karena bertahan memang lebih sulit dibanding mencapai. 

p.s: tidak bermaksud menyinggung, blog ini hanya semata buah pikiran dari penulis. Keep positive!
Selagi membaca ini, kalian bisa dengerin 3 top soundtrack pilihanku hihi.

1. Ben Folds - Still Fighting It (versi orisinil)


2. Gaho - Start 



3. Ha Hyun Woo - Stone Block


Minggu, 30 Oktober 2016

Doctor Strange: Not even strange!

Walaupun bukan penggila Marvel, Doctor Strange (2016) punya nilai lain yang bikin film ini WAJIB ditonton!


1. Cerita

Ya, sebenarnya dari segi cerita agak so-so sih. Film yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch ini punya alur yang mudah dimengerti juga. Intinya, seorang yang ingin mencari kesembuhan dari cacat tangan yang dialaminya jadi cerita kesembuhan roh (bukan spiritual / religus). Dan hal ini yang membuatnya punya kekuatan seperti penyihir. 

Buat aku, ini jadi hal yang dimaklumi karena Benedict Cumberbatch. Perlu diakui juga, dia sukses buat orang lupa sejenak sama image Sherlock Holmes (TV Series)! My laff <3 div="">

2. Animasi

SUPERB! Buat kita yang ada di bidang creative, pasti akan kasih 4 jempol buat film ini. Super cape yang mengerjakan animasinya. Kalau kamu nonton di bioskop sampai akhir, di bagian credits animator super panjang juga listnya. Detailnya itu lhoooo ~


Selain dimanjakan dengan visual, film ini menyajikan cerita yang penting sebenarnya. Coba aja bayangin, di saat human beings - secara naluriah itu manusia maha (pengen) tau, tapi di sini kita diajarin harus lepasin ego dan segala 'maha' yang ada demi mendapat komunikasi yang baik antara roh dan badan. 

Hasilnya? HEBAT banget. Mungkin kita ga bisa buat perisai / pedang dari gesture, tapi kita bisa optimalin keyakinan. 

Mungkin ini insight yang dipakai juga sama NIKE di 2016: "Unlimited You". Tapi ini bener banget, boy! Siapa yang bisa bilang "bisa" atau ga? Ya emang diri kita sendiri. Hati-hati ya dalam memaknainya. Bukan berarti kalau sakit keras tetap dipaksa kerja. Itu mah gila! hehe.

Jadi, sebenarnya ngga ada alasan kenapa harus dengerin omongan orang atau kenapa itu bisa mengganggu hidup kita? Mereka siapa? 

Coba pikir-pikir lagi... buat kamu yang sering ngomongin orang, coba lihat cara orang lain hidup deh. Berguru sama pengalaman itu perlu. Dan buat kamu yang sering tertekan karena omongan orang, coba ingat untuk tidak membatasi dirimu dengan batasan :)

Semoga dapat dipahami dan menginspirasi!

Sabtu, 27 Agustus 2016

Top 5 Korean Movies

Berhubung aku juga penikmat Korean Movies, yang ini juga ga boleh ketinggalan direview :)
Semoga rekomendasi di sini bisa kasih hiburan buat kalian!

Movies: 

1. My PS Partner (2012)
Starred by Kim Ah-Joong & Ji Sung


Sinopsis: Kalau jodoh emang ga kemana. Berawal dari salah sambung, lalu berlanjut ke blind date, dan ....
Ya, kalau aku ceritain kamu jadi tau keseluruhan cerita sih hehe :)

Sama halnya kaya 200 Pounds Beauty, di sini Kim Ah-Joong juga nyanyi lho. Super suka!

Nilai: 8/10


2. The Beauty Inside (2015)
Starred by Han Hyo-Joo & many

Sinopsis: Usaha buat mempertahankan cinta versi film ini, lumayan PR guys! Masalahnya si pria ini selalu berubah penampilannya setiap hari. Tapi yaaa, namanya cinta dan sayangnya ga akan pernah berubah. Justru nambah! Tapi coba bayangin dari sisi wanitanya. Beratttttttt..

Ini agak berbeda dari kisah cinta dengan orang bipolar yang waktu itu lagi marak banget!

Nilai: 7,3/10



3. Hello Ghost! (2010)
Starred by Cha Tae-Hyun


Sinopsis: Oke ini cerita sedih. Ga ada lagi yang bisa aku ceritain. Super menarik tweak cerita yang digambarkan di film ini.

Dari sini jadi kebangun aja rasa percaya kalau you always be surrounded by positive vibe as long you believe!

Nilai: 8,2/10





4. Harmony (2010)
Starred by Yunjin Kim

Sinopsis: Duh, ngilu rasanya tau kehidupan orang dibalik penjara dengan harus membesarkan seorang anak. Apalagi mereka masuk penjara karena membela hak asasi, dan bukan cuma rasa marah / cemburu.

Pelajaran lain yang bisa diambil adalah: ikhlas! Iyap, ini sedih lagi apalagi di part choir narapidana :(

Nilai: 8/10





5. Love Forecast (2015)
Starred by Lee Sung-Gi & Moon Chae-Won

Sinopsis: Awalnya sahabat, dan... ya pasti kamu bisa tebak kelanjutannya! hehe. Tipikal Korean Movies yang ga akan lepas aja sih ini. Tapi karena pemainnya Lee Sung-Gi dan tambahan poin humor, jadi ini bisa-lah aku rekomendasikan untuk hiburan hehe.

Nilai: 7/10




Sebenarnya ini ga urutan ya. Jadi, jangan lupa diliat nilainya dan kamu bisa cek juga trailernya :)
Happy weekend!

Sabtu, 13 Agustus 2016

Sing Street: "Sukses Imitasi"

Ngga selamanya imitasi itu merugikan. Mungkin ini salah satu proses buat dapetin yang namanya: jati diri.

Sama aja kaya di film ini, Sing Street akhirnya punya ciri sendiri karena kesuksesan imitasi. Gaya berpakaian sampai melodi pun mengikuti dari apa yang mereka sukai. Tapi poin apa sih sebenernya yang membuat film yang diperankan Ferdia Walsh-Peelo dan Mark McKenna ini sukses menarik perhatian?

Sing Street (2016)

Improvisasi imitasi ini PENTING!
Dan nyatanya, proses improvisasi ini yang agak malas dilakukan. (Ya ngga sih?!)

Dalam bidang musik, kita seringkali "ah gue kira lagu ini" yang menunjukkan ada kesamaan melodi antara satu lagu dengan lainnya. Eits, tenang... ini bukan imitasi. Ini improvisasi. Beda halnya kalau imitasi yang kemudian kita sebut dengan barang KW. Ya ini merugikan, bagi pengguna dan negara (bahkan). 

Di kehidupan nyata, imitasi kehidupan orang lain yang paling sering dilakukan dengan alasan terinspirasi. Tentu kita melakukan imitasi poin positifnya dan improvisasi dengan menyesuaikan beberapa hal dengan kemampuan dan kenyamanan. Ini juga yang aku lihat dari film yang disutradarai John Carney

Duran Duran versi Sing Street

Depeche Mode versi Sing Street

The Cure versi Sing Street
Secara keseluruhan, aku harus acungi 4 jempol karena dari sisi cerita sukses menggambarkan pentingnya improvisasi sebagai bagian dari proses sebuah karya seni. Dan ini bisa juga berlaku untuk kita yang bekerja dalam bidang kreatif. Tak perlu takut melakukan imitasi, tapi jangan lupa improvisasi. Inovatif mungkin ngga, tapi sesuai dengan jati diri (user, klien, campaign objective, dan budget, hehehe...)

BTW, semua lagu di film ini sangan entertaining. Rekomendasi banget!

1. The Riddle of The Model


2. Drive It Like You Stole It 




Sabtu, 19 Maret 2016

The Dressmaker : Pilihan!

"Aku seperti mendapat kutukan!"

Beginilah kiranya sikap manusiawi saat keadaan sulit dalam hidup kurang dapat diterima dengan ikhlas. Singkatnya, kurang bersyukur + marah atau kecewa = mengumpat.

Begitupun dalam film "The Dressmaker" (2015) yang diperankan Kate Winslet (Tilly Dunnage) dan Liam Hemsworth (Teddy). Tilly merasa dirinya seperti mendapat kutukan karena setiap orang yang ia cintai sengsara karenanya. Selalu ada hal buruk yang terjadi di mana pun ia berada.


Skill Tilly untuk membuat baju yang fit in dengan personality si pemakai sudah tidak penting untuk diceritakan (awalnya). Tapi, inilah poin utama yang membuatnya bahagia (akhirnya). Kenapa? Karena "kutukan" itu pilihan!

Pilihan 1 : Menjalani kutukan untuk bertahan, lalu menang, atau
Pilihan 2 : Menjalani kutukan untuk dipikirkan, lalu kalah

Ungkapan "kutukan" ada karena pikiran (negatif). Hal ini bisa datang berdasarkan seberapa berat masalahnya, kadar diri saat menjalaninya, dan saat sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain... hanya menjalani hidup dengan tatapan "apa lagi yang akan terjadi?" --> tentu kontekstualnya negatif ya.

Jika kita coba turunkan dari 2 pilihan di atas, setidaknya ada poin "bertahan" dan "menang" (ini positif) dari "kutukan" (yang artinya negatif) di pilihan 1. Tentu ini menjelaskan bahwa mereka yang berpikir "menerima kutukan" tetap berusaha untuk menjalaninya. Sebaliknya, secara gamblang tak sedikit orang di dunia ini memilih bunuh diri untuk kabur dari realita. Ya, walaupun kalah dengan kondisi itu rasanya seperti tampak hidup tapi mati di dalam.

Aku melihat 2 poin di atas dari film ini. Menurutmu manakah yang jadi akhir cerita untuk Tilly Dunnage? Tonton langsung aja ya. Dan, mana yang jadi akhir cerita masalah pikiranmu sendiri? Tentukan, ini pilihan!

Sabtu, 06 Februari 2016

The Stanford Prison Experiment : Psikologi Tes!

Ga salah kalau ada orang yang merekomendasikan film ini untuk ditonton. Menarik!

Dari judulnya pun sudah terlihat jelas bahwa kisah ini menceritakan sebuah eksperimen kehidupan di penjara, baik dari point of view guard maupun prisoner. Simulasi penjara yang dibuat pun menarik. Aturan dan tekanan yang ada dibuat sedemikian serupa dengan penjara pada umumnya. 

The Stanford Prison Experiment (2015)
Sekalipun ada Ezra Miller (tahanan 8612), tapi ada 3 peran yang cukup menarik perhatianku dalam film ini, yaitu: 
Alasannya? Jelas karena eksprerimen kehidupan seperti ini membawa efek psikologi yang menarik. Penelitian ini pun dituliskan dengan baik oleh Zimbardo dari bukunya yang berjudul "The Lucifer Effect : How Good People Turn Evil". Perubahan perilaku itu nyata adanya!

Melalui eksperimen ini, sang Pencipta - Zimbardo perlu meredam ambisi dan memperbesar keikhlasan dalam dirinya. Begitupun dengan John Wayne yang memiliki penelitian-ception dengan hasil yang valid, dibuktikan oleh perubahan perilaku Tahanan 2093.

Secara garis besar, hal ini sama dengan kehidupan kita sekarang. Saat seseorang memiliki mimpi lalu ditambah dengan ambisi, kadang sikap ikhlas itu jadi sikap yang jauh untuk dimiliki. Sulit untuk menerima kegagalan, kekalahan, kekecewaan, apalagi kesalahan yang ada dari dan karena dirinya sendiri. 
Faktanya, memang lebih mudah menularkan pikiran negatif ke orang lain dibandingkan membangun rasa ikhlas untuk mengakui kekurangan diri dan merelakan kenyataan tak lagi sama dengan mimpi + ambisi. 
Part 1 inilah yang buat aku tepuk tangan buat Zimbardo!
Selanjutnya, penelitian-ception John Wayne di dalam Stanford Prison pun menarik.
"Lebih mudah berubah dan terlihat layaknya orang jahat karena yang baik selalu memilih diam dan memperhatikan. Padahal ya, jahat atau baiknya seseorang bukan refer pada sikap si subjek, melainkan efek sikap subjek terhadap objek."
Hal ini, aku lebih dari setuju!

Selama apapun kita berteman dengan seseorang, kita tetaplah bukan dia dalam kehidupannya. Apalagi kita dalam hubungan percintaan. Di bawah nama 'kita', kita tetaplah dua manusia yang berbeda. Yang kemudian disebut baik atau jahat, kita tentukan darimana kita mau berpikir dan merasakan kondisi yang ada.

Misalnya saja, kita 'dijahatin' seseorang. Apakah betul orang tersebut jahat atau efek yang kita rasakan dari perilaku orang tersebut membuat hidup kita buruk? Aku memilih untuk cara berpikir yang kedua.

  • Kadang marah juga bentuk dari rasa peduli. Lihat sikap orang tua pada anaknya. Apakah kita jadi bilang orang tua kita jahat?
  • Kadang putus juga bentuk dari rasa sayang. Lihat dari 'sehatnya' sebuah hubungan ini terjalin. Buat apa berpura-pura bahagia yang nyatanya merusak diri atau masa depan satu sama lain? 
  • Kadang egois dalam hubungan juga bentuk dari perhatian. Lihat dari bagaimana cara ia melarang atau mengutarakan keinginannya. Tidak ingin pasangannya kerja hingga larut malam demi mendapat kualitas waktu bersama, apakah buruk adanya? 
Aku menggunakan kata 'kadang' hanya sekedar tidak mengeneralisasikan kondisi orang lain aja sih. Dan penggunaan 'membuat hidup kita buruk' ini harusya bukan ditelan mutlak. Tapi belajar untuk telaah baik dan buruk itu jadi nilai penting kehidupan. Karena at the end kita jadi belajar untuk ikhlas, bukan bergantung pada perilaku orang lain, tapi apa yang terjadi saat atau setelah sikap orang tersebut untuk hidup kita.

Sama halnya tidak ada kebohongan untuk kebaikkan, aku percaya sikap ikhlas itu ada harus tanpa syarat atau sebab-akibat yang muncul dari orang lain, melainkan penerimaan diri sendiri.

Ini. Penting!