Sabtu, 06 Februari 2016

The Stanford Prison Experiment : Psikologi Tes!

Ga salah kalau ada orang yang merekomendasikan film ini untuk ditonton. Menarik!

Dari judulnya pun sudah terlihat jelas bahwa kisah ini menceritakan sebuah eksperimen kehidupan di penjara, baik dari point of view guard maupun prisoner. Simulasi penjara yang dibuat pun menarik. Aturan dan tekanan yang ada dibuat sedemikian serupa dengan penjara pada umumnya. 

The Stanford Prison Experiment (2015)
Sekalipun ada Ezra Miller (tahanan 8612), tapi ada 3 peran yang cukup menarik perhatianku dalam film ini, yaitu: 
Alasannya? Jelas karena eksprerimen kehidupan seperti ini membawa efek psikologi yang menarik. Penelitian ini pun dituliskan dengan baik oleh Zimbardo dari bukunya yang berjudul "The Lucifer Effect : How Good People Turn Evil". Perubahan perilaku itu nyata adanya!

Melalui eksperimen ini, sang Pencipta - Zimbardo perlu meredam ambisi dan memperbesar keikhlasan dalam dirinya. Begitupun dengan John Wayne yang memiliki penelitian-ception dengan hasil yang valid, dibuktikan oleh perubahan perilaku Tahanan 2093.

Secara garis besar, hal ini sama dengan kehidupan kita sekarang. Saat seseorang memiliki mimpi lalu ditambah dengan ambisi, kadang sikap ikhlas itu jadi sikap yang jauh untuk dimiliki. Sulit untuk menerima kegagalan, kekalahan, kekecewaan, apalagi kesalahan yang ada dari dan karena dirinya sendiri. 
Faktanya, memang lebih mudah menularkan pikiran negatif ke orang lain dibandingkan membangun rasa ikhlas untuk mengakui kekurangan diri dan merelakan kenyataan tak lagi sama dengan mimpi + ambisi. 
Part 1 inilah yang buat aku tepuk tangan buat Zimbardo!
Selanjutnya, penelitian-ception John Wayne di dalam Stanford Prison pun menarik.
"Lebih mudah berubah dan terlihat layaknya orang jahat karena yang baik selalu memilih diam dan memperhatikan. Padahal ya, jahat atau baiknya seseorang bukan refer pada sikap si subjek, melainkan efek sikap subjek terhadap objek."
Hal ini, aku lebih dari setuju!

Selama apapun kita berteman dengan seseorang, kita tetaplah bukan dia dalam kehidupannya. Apalagi kita dalam hubungan percintaan. Di bawah nama 'kita', kita tetaplah dua manusia yang berbeda. Yang kemudian disebut baik atau jahat, kita tentukan darimana kita mau berpikir dan merasakan kondisi yang ada.

Misalnya saja, kita 'dijahatin' seseorang. Apakah betul orang tersebut jahat atau efek yang kita rasakan dari perilaku orang tersebut membuat hidup kita buruk? Aku memilih untuk cara berpikir yang kedua.

  • Kadang marah juga bentuk dari rasa peduli. Lihat sikap orang tua pada anaknya. Apakah kita jadi bilang orang tua kita jahat?
  • Kadang putus juga bentuk dari rasa sayang. Lihat dari 'sehatnya' sebuah hubungan ini terjalin. Buat apa berpura-pura bahagia yang nyatanya merusak diri atau masa depan satu sama lain? 
  • Kadang egois dalam hubungan juga bentuk dari perhatian. Lihat dari bagaimana cara ia melarang atau mengutarakan keinginannya. Tidak ingin pasangannya kerja hingga larut malam demi mendapat kualitas waktu bersama, apakah buruk adanya? 
Aku menggunakan kata 'kadang' hanya sekedar tidak mengeneralisasikan kondisi orang lain aja sih. Dan penggunaan 'membuat hidup kita buruk' ini harusya bukan ditelan mutlak. Tapi belajar untuk telaah baik dan buruk itu jadi nilai penting kehidupan. Karena at the end kita jadi belajar untuk ikhlas, bukan bergantung pada perilaku orang lain, tapi apa yang terjadi saat atau setelah sikap orang tersebut untuk hidup kita.

Sama halnya tidak ada kebohongan untuk kebaikkan, aku percaya sikap ikhlas itu ada harus tanpa syarat atau sebab-akibat yang muncul dari orang lain, melainkan penerimaan diri sendiri.

Ini. Penting!